Pertanyaan menarik lainnya terkait dengan pemberlakuan PPh Final 1% adalah bagaimana “nasib” pengenaan PPh withholding khususnya yang bersifat tidak final-atas Wajib Pajak yang memenuhi kriteria dikenakan PPh Final? Ini bicara tentang PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 22. Jika di satu sisi Wajib Pajak dikenai PPh Final saja tapi di sisi lain pemotongan PPh withholding-nya tetap jalan terus, akibatnya bisa terjadi lebih bayar yang tidak perlu, karena hanya merepotkan Wajib Pajak dan fiskus.
Mungkin sebagian orang bisa menebak bahwa untuk mengantisipasi terjadinya kelebihan bayar tadi, Wajib Pajak bisa mengajukan Surat Keterangan Bebas (SKB) pemotongan PPh WHT (Withholding Tax) tidak final sebagai win-win solution.
Sebelum berlakunya PPh Final ini, sebagian Wajib Pajak yang dikenai PPh Final sudah pernah merasakan kelebihan bayar tadi, misalnya Wajib Pajak pengusaha konstruksi yang tetap harus membayar PPh Pasal 22 atas impor, sehingga Dirjen Pajak kemudian menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-1/Pj/2011 yang mengatur tentang pembebasan tersebut.
Benang merah ke arah pengajuan SKB sebagai jalan tengah, diuraikan secara eksplisit dalam Pasal 6 PMK Nomor: 170/PMK.011/2013 di mana disebutkan bahwa Wajib Pajak dapat bebas dari PPh WHT tidak final dengan mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas. Pertanyaannya tinggal apakah Dirjen Pajak akan menggunakan ketentuan PER-1/PJ/2011 sebagai dasar hukum untuk mendapatkan SKB atau akan mengeluarkan aturan baru?
Untuk masalah ini, SE-42/PJ/2013 juga memberikan jawabannya. Dalam huruf f angka 8, disebutkan bahwa permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh oleh pihak lain dapat diajukan sesuai dengan ketentuan PER-1/PJ/2011. Peraturan Dirjen Pajak ini digunakan sampai dengan ditetapkannya Perdirjen baru yang khusus mengatur mengenai tata cara pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh bagi Wajib Pajak yang dikenai PPh berdasarkan PP No.46 Tahun 2013.
Hal yang perlu diperhatikan jika nantinya Dirjen Pajak akan menetapkan peraturan lain selain PER-1/PJ/2011 terkait SKB adalah persyaratan teknis untuk bisa mendapatkan SKB tersebut, khususnya yang berkaitan dengan pembuktian omzet yang tidak lebih dari Rp4,8 miliar. Hal ini sangat penting dituangkan demi memberikan kepastian hukum.
Sumber: Indonesian Tax Review